Liputan Bola Terkini– Cristiano Ronaldo tidak langsung bersinar ketika pertama kali memperkuat tim utama Manchester United. Paul Scholes, legenda klub tersebut, mengingat satu pertandingan yang dianggap sebagai titik balik dalam perjalanan karier bintang asal Portugal itu.1
Peristiwa tersebut terjadi pada musim 2004/2005, saat Manchester United berjumpa AC Milan di babak 16 besar Liga Champions. Dalam dua leg, United kalah 0-1 dan tersingkir lebih cepat dari perkiraan banyak pihak.
Kedua gol Milan kala itu dicetak oleh Hernan Crespo. Ronaldo, yang masih berusia muda, ikut bermain dalam kedua laga tersebut namun belum mampu menunjukkan potensi besarnya.
Menurut Scholes, kekalahan itu justru menjadi pelajaran penting bagi Ronaldo. Ia belajar bahwa kemampuan individu saja tidak cukup untuk sukses; kerja sama dalam sistem tim jauh lebih berperan.
Pertandingan yang Mengubah Cara Pandang Ronaldo
Scholes menilai duel melawan Milan memberikan pengalaman besar bagi Ronaldo untuk memahami pentingnya kerja kolektif. Di hadapannya saat itu berdiri pertahanan kuat berisi nama-nama legendaris seperti Paolo Maldini dan Gennaro Gattuso.
Sebagai pemain muda, Ronaldo belum terbiasa menghadapi tekanan setinggi itu di level Eropa. Dari laga inilah, menurut Scholes, Ronaldo mulai memahami arti kedisiplinan dan kolaborasi di atas lapangan.
“Momen penentu bagi Cristiano adalah ketika dia berhadapan langsung dengan Maldini di Liga Champions. Lawan terbaik yang bisa kamu hadapi,” ujar Scholes.
“Dia masih sangat muda waktu itu. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Tapi begitu bertemu Maldini dan Gattuso, dia sadar bahwa permainan sepak bola bukan soal siapa paling hebat secara individu,” lanjutnya.
Scholes menambahkan bahwa meski performa Ronaldo saat itu belum menonjol, dari laga itulah ia belajar pentingnya berbagi bola dan bermain lebih efisien.
Proses Belajar Jadi Pemain Tim
Pada awal kariernya di Old Trafford, Ronaldo dikenal gemar mempertahankan bola terlalu lama. Ia ingin menampilkan kemampuan menggiringnya di setiap kesempatan. Namun hal itu sering membuat alur serangan United terputus.
Dalam pertemuan kedua melawan Milan di San Siro, United bahkan hanya mencatat satu tembakan tepat sasaran selama 90 menit. Padahal di lini depan mereka ada nama-nama besar seperti Ruud van Nistelrooy, Ryan Giggs, Wayne Rooney, dan Ronaldo sendiri. Semuanya gagal menembus rapatnya pertahanan Milan.
“Dia dulu berpikir bisa menaklukkan semua pemain dengan dribelnya. Tapi Maldini dan Gattuso selalu menutup ruang,” kenang Scholes.
“Setelah laga itu, dia mulai sadar bahwa mengoper bola di waktu yang tepat jauh lebih berharga daripada mencoba segalanya sendiri.”
Fondasi Menuju Kejayaan Dunia
Scholes percaya bahwa kekalahan di hadapan Milan justru menjadi titik awal perubahan dalam mentalitas Ronaldo. Ia mulai mengasah kemampuan membaca permainan, memperkuat fisiknya, serta memahami kapan harus tampil efisien dan kapan harus berkreasi.
“Ronaldo tumbuh sangat cepat setelah momen itu. Dalam waktu singkat, dia jadi lebih matang. Dia mulai bermain untuk tim, bukan sekadar untuk dirinya,” jelas Scholes.
Beberapa musim kemudian, perubahan tersebut terlihat nyata. Ronaldo menjadi pemain paling berpengaruh di United, membawa klub menjuarai Liga Champions 2008 dan meraih Ballon d’Or pertamanya di tahun yang sama.
Momen Pahit yang Jadi Batu Loncatan
Kisah ini menjadi pengingat bahwa kegagalan sering kali menjadi guru terbaik. Laga melawan AC Milan bukan sekadar kekalahan bagi Manchester United, tetapi juga menjadi titik balik bagi seorang Cristiano Ronaldo.
Paul Scholes menegaskan bahwa tanpa pengalaman pahit itu, mungkin Ronaldo tidak akan berkembang secepat yang ia lakukan. Dari kekalahan itulah muncul pemain yang lebih dewasa, lebih bijak, dan akhirnya dikenal dunia sebagai salah satu legenda terbesar sepanjang masa.