Liputan Bola Terkini– Wajah Jose Mourinho mungkin kini lebih kalem, rambutnya pun telah memutih. Meski begitu, semangat bersaing dalam dirinya tetap berkobar seperti masa lalu.1
Pelatih asal Portugal itu akan kembali menginjak Stamford Bridge bukan sebagai kawan, melainkan lawan. Momen ini kembali menghadirkan sisi terkuat dari karakternya: ambisi untuk menang.
Mourinho sering mengatakan dirinya telah banyak berubah sebagai pribadi. Namun ada satu hal yang tak pernah memudar sepanjang kariernya, yakni gairah bertarung.
Baginya, adrenalin, ketegangan, serta kecintaan pada kemenangan dan kebencian terhadap kekalahan adalah energi utama yang membuatnya terus melangkah.
Batasan Versi Mourinho
Mourinho punya tolok ukur sederhana untuk menentukan kapan waktunya berhenti. Ia menyebutnya sebagai “lampu merah”, tanda yang akan muncul bila gairah itu memudar.
Bukan soal umur atau jumlah trofi yang menentukan akhir perjalanannya, melainkan intensitas rasa saat memimpin tim bertanding.
“Jika suatu saat saya bangun tanpa semangat pergi bekerja; jika kemenangan tak lagi memberi kebahagiaan; jika kekalahan tak lagi menimbulkan kekecewaan, maka itulah lampu merah saya,” ujarnya kepada UEFA.com.
Percakapan dengan Sir Alex
Keyakinannya bahwa hasrat ini tak akan hilang pernah diperkuat oleh pengalaman pribadi. Lebih dari sepuluh tahun lalu, ia berdialog langsung dengan Sir Alex Ferguson.
Kala itu Mourinho masih melatih Real Madrid, bersiap menghadapi Manchester United. Ia lalu bertanya pada sosok legendaris tersebut tentang adrenalin sebelum laga besar.
“Saya menanyakan, ‘Apakah ketegangan itu akan berubah seiring usia dan pengalaman?’” kenang Mourinho.
“Sir Alex menjawab: ‘Tidak, sensasinya tetap sama sampai akhir.’ Dan sekarang, setelah lebih dari satu dekade, saya pun masih merasakan hal yang sama,” tuturnya.
Stamford Bridge: Sejarah Bersama
Bagi Mourinho, Stamford Bridge menyimpan arti mendalam dalam perjalanan hidupnya. Chelsea dan dirinya telah menulis sejarah yang saling berkaitan.
Di stadion itu ia mempersembahkan tiga gelar Premier League. Ia pernah dielu-elukan ribuan penggemar The Blues sebagai sosok pemimpin yang membawa kejayaan.
“Stamford Bridge adalah tempat saya meraih tiga trofi liga. Itu bagian penting dari sejarah saya bersama Chelsea,” ungkapnya.
“Chelsea melekat dalam sejarah saya, begitu pula saya dalam sejarah Chelsea. Namun sepak bola memang seperti itu,” tambahnya.
Lupa Emosi Selama 90 Menit
Meski memiliki ikatan emosional yang kuat, semuanya akan hilang ketika pertandingan dimulai. Mourinho dikenal mampu memisahkan perasaan pribadi dengan profesionalisme.
Ia menyadari makna Stamford Bridge sebelum dan setelah laga. Namun selama 90 menit, satu-satunya tujuan hanyalah kemenangan.
“Mereka ingin menang, saya pun ingin menang,” katanya tegas.
“Sebelum pertandingan saya tahu di mana saya berada, setelahnya pun saya sadar. Tapi selama pertandingan, saya bisa melupakan semuanya dan hanya fokus untuk berkompetisi,” pungkasnya.